Sabtu, 06 September 2014

Perempuan Itu

Perempuan ini banyak belajar dari sekitarnya. 
Perempuan ini mendapati seorang perempuan lain yang bertahan mati-matian bersama seorang lelakinya. 
Tapi disitu, dihubungan itu, perempuan itu lebih banyak diam, memendam pedih sendirian, menangis semalaman meratapi kejadian. Perempuan itu lebih banyak mengalah, mengesampingkan egonya demi mengutamakan lelakinya, perempuan itu bertahan disisi lelakinya, menyiapkan diri walau harus tersakiti. 
Lelakinya tampan, tapi emosinya tak tertahankan. Mereka sering bertengkar tak karuan, masalah kecil yang dibesar-besarkan, juga sering timbulnya kesalahpahaman karna pemikiran yang tak sejalan. 

Mereka bersama bertahun-tahun, menjalani semuanya berdua. Tapi setelah perempuan ini perhatikan, ada yang salah dihubungan mereka. Ya, pemikiran mereka belum sejalan. Mereka saling menyayangi, pasti. Mereka saling mencintai, pasti. Mereka saling menjaga, juga pasti. Tapi kenapa perempuan itu masih sering menangis? Lelakinya mengumbar janji manis, berkata bahwa cintanya akan terus harmonis. Nyatanya? Perempuan itu masih menangis. 

Yang perempuan ini bisa lihat dari mereka adalah dua manusia yang saling cinta, tapi ada penengah ego yang menghancurkan mereka. Ego lelakinya. Lelakinya merasa berkuasa atas diri perempuan itu. Merasa bahwa tubuh perempuan itu hanya miliknya. Lelakinya lupa bahwa sebenarnya mereka belum terikat sumpah setia. Pernikahan. Lelakinya lupa, bahwa sesungguhnya mencintai itu menghargai bukan mengekang. Bukan mengkotakkan perempuan itu dalam sejuta aturan. Lelakinya lupa bahwa mencintai itu menuntun. Membuat perempuan itu merasa ada pemimpin dihadapannya bukan malah menjadi raja yang harus disembah dan ditakuti kehadirannya. Lelakinya lupa bahwa perempuan itu tulus mencintainya. 

Lelakinya mati rasa. Lelakinya dibutakan cinta hingga tak tahu warna dalam rasa, membedakan sayang dan mengekangpun tak bisa.
Sayang itu membiarkan perempuan itu bebas. Bebas sesukanya, karna dimanapun dan bersama siapapun perempuan itu akan tetap menjaga dirinya tetap anggun. 
Sayang itu percaya, karena dimanapun dan bersama siapapun perempuan itu akan sadar bahwa kondisinya telah dimiliki oleh lelakinya. 
Sayang itu menjaga, bukan dengan selalu berada disampingnya, tapi dengan setia menanam rasa. Rasa yang telah dibangun bersama.

Sayang itu bukan membatasi ruang. Itu namanya mengekang. 
Merasa sayang bukan berarti dapat memperlakukan pasangan sesuka kemauan.
Lelakinya selalu merasa seperti penguasa, mengangkangkan kaki, melipat tangan didada, memerintah seenaknya. 
Itu bukan pasangan sejati namanya. 

Perempuan itu terus bertahan. Perempuan itu sadar, ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Bukti cintanya pada lelakinya. Bodoh memang, tapi cinta telah berbicara. 
Perempuan itu bertahan dengan semua tingkah lelakinya. Berharap akan datang keajaiban bahwa lelakinya akan berubah.
Perempuan itu memperjuangkan cintanya, tak menghiraukan luka dihatinya, seolah semuanya baik-baik saja padahal sebenarnya tersenyumpun adalah luka.

Yang perempuan ini tahu, dalam sebuah hubungan menjaga privasi masing-masing itu kewajiban. Saling menghargai apa yang dimiliki itu suatu keharusan. Cinta bukan melulu soal sayang tapi bagaimana keduanya bisa saling memperjuangkan. Cinta juga bukan selalu tentang kebersamaan tapi bagaimana keduanya bisa saling menjaga kepercayaan. 
Jauh dari pandangan, menciptakan kedewasaan. Mengerti bahwa jauhnya jarak menjadikan kerinduan adalah teman, mengkokohkan kesetiaan. 
Yang perempuan ini tahu, perempuan diciptakan dari tulang rusuk lelaki, takkan lengkap tubuh lelaki tanpa perempuan menemani disudut sisi. Perempuan pelengkap diri lelaki.
Yang perempuan ini tahu, cinta itu mengayomi, melindungi, bukan menindas perasaan. Membuat perempuan selalu menangis, itu salah.
Bulir-bulir air matanya adalah dosamu, lelaki. 

Hujan Ini



Hari ini hujan lagi. Tidak deras. Tapi cukup membasahi bumi. Gemuruh guntur beradu dengan angin. 

Perempuan ini, tepat disini, didepan pintu ini, menikmati suara hujan yang menciptakan iramanya sendiri. 

Perempuan ini, sendiri di rumah ini, menikmati sendirinya disini. Ada seseorang yang dia tunggu sedari beberapa minggu yang lalu, tidak juga datang hingga hari ini.

Dia bilang akan datang tapi tak tahu kapan. 
Dia bilang akan membawa kebahagiaan tapi perempuan ini harus sabar. 
Dia bilang pertemuan akan hadir, jangan khawatir. 

Ya. Itu yang dia bilang.

Tapi sampai kapan perempuan ini harus sendiri disini. Sampai hujan berganti cerah, cerah disapu mendung, mendung hilang diantara pelangi, lalu hujan lagi? 

Kamis, 04 September 2014

Disitu di Tempat Itu

Ada satu tempat yang ingin kita kunjungi. Kita selalu berangan-angan berada di tempat itu, berdua saja. Entah kapan bisa berada di tempat itu, yang jelas ketika kita berada di situ, kita sudah benar-benar halal. Menjadi sepasang suami istri. 

Tempat itu. Entah magnetnya begitu kuat. Hingga kita terus menginginkan dapat berada di situ.

Ketika halal kita nanti. Kamu menjadi imam dan aku berada satu shaf dibelakangmu menjadi makmum. Berdoa bersama di situ. Menadahkan tangan kepada Tuhan meminta keberkahan. Mengkhusu`kan diri meminta pengampunan. 

Suatu hari disaat kita sudah halal nanti, jika Tuhan menghendaki, kita akan berada di situ, di tempat itu. 

Mekkah.

Rabu, 03 September 2014

Kamu Masa Depanku

Entah hatimu terbuat dari apa. Kamu tetap tenang ketika mantanku terus datang mengganggu. Kamu tetap tenang ketika aku menggebu-gebu menceritakan bahwa hari ini mantan telah menelponku berkali-kali. Kamu tetap tenang ketika aku memberitahumu bahwa mantan telah mengirimkan pesan singkat kepadaku. Kamu tetap tenang ketika kita sedang berdua tiba-tiba handphoneku berbunyi, dan ternyata itu telpon dari mantanku. 

Entah hatimu terbuat dari apa. Kamu tetap tenang mendengarkan ceritaku bersama mantanku dulu. Kamu tetap tenang ketika aku menangis ketika membicarakan mantanku, mengingat tentang apa yang telah dia perbuat padaku dulu. 

Ya. Dia. Masa laluku. Mantan yang dulu pernah jadi bagian dihidupku. Kuceritakan ulang kisahku bersamanya dulu kepadamu. Bukan untuk membuatmu cemburu tapi agar kamu tahu bahwa dulu aku pernah memperjuangkan orang yang salah. 

Aku mati-matian memperjuangkan juga mempertahankan. Aku pun sampai berani mengabaikan restu orangtua. Aku bisa menangis semalaman ketika terjadi pertengkaran.  Aku juga rela mendatangi rumahnya untuk mendapatkan kejelasan hubungan. 
Aku yang salah atau dia yang salah, bagaimanapun dimatanya tetap aku yang salah. Membesarkan masalah, memperkeruh status yang tak jelas. 
Entah aku buta atau tuli. Tak pernah kumemandang sekelilingku, mendengarkan cerita mereka bahwa sebenarnya dia bukan pria yang baik. Aku terus dengan pendirianku, mempertahankan hubunganku. Ada yang dia ambil dariku. Hingga aku harus berjuang merebutnya kembali. Itu yang membuatku terus bertahan dalam siksa permainannya. Dramatis? Ya, memang begini adanya. Aku pernah mencintai orang yang salah dan juga memberikan seluruh cintaku yang sebenarnya dia tak memberikan seluruh cintanya padaku, dia hanya main-main. 
Singkat cerita, dipenghujung akhir sebuah kisah, akhirnya dia pergi layaknya pecundang. Menyembunyikan kuku dan taring tajamnya dibalik tantangan orangtuaku yang memintanya untuk mengikat hubungan, orangtuaku meminta diadakan pertunangan, sebagai bukti keseriusan, walau sebenarnya orangtuaku tak pernah merestui hal itu. Orangtuaku saksi nyata perjalanan cintaku. Tapi, ya, dia pergi layaknya pecundang dan aku benar-benar diperlihatkan bahwa selama ini aku mencintai orang yang salah. Ini kenyataan yang harus aku terima. Tuhan adil, melindungiku dari pria tak baik sepertinya.

Lalu kini, setelah kepergiannya. Aku dihadiahi oleh Sang Pemberi Teman Hidup, seorang laki-laki yang hatinya entah terbuat dari apa. Dia baik. Sangat baik. Mencintaiku hingga sedalam ini. Menemaniku sampai saat ini. Menjadi sahabatku hingga detik ini. Dia tak seperti yang lainnya. Dia tenang, pandai meredam emosinya. Selama denganku, tak pernah marah terbuang percuma dari mulutnya. Dia hebat, membuat gelak tawa berbaur suasana nyaman didekatnya. Dia sangat bisa membuatku lupa bahwa telah berjam-jam duduk untuk berbicara panjang lebar dengannya. Ya, banyak hal tentang dirinya. Kucoba tuangkan semua disini, tapi tak perlu. Cukup aku yang tahu bahwa dia sangat baik untukku. Lelaki yang sangat baik kepribadiannya. 

Dia bukan lelaki sempurna. Tapi sangat bisa membuatku merasa sempurna. Sempurna memilikinya.
Sifat ke-bapak-annya membuatku merasa aman disampingnya. Merasa selalu dijaga, dilindungi dan disayangi. 

Ya, kamu. Entah hatimu terbuat dari apa. Kamu mampu tetap tenang dalam diammu. 

Aku mencintaimu, masa depanku.

Anak Perempuan Ini

Ini tentang seorang anak perempuan, tidak lagi remaja, tapi belum juga bisa dibilang dewasa. 
Ini tentang seorang anak perempuan, belum menikah, tapi telah memiliki teman hidup. 
Ini tentang seorang anak perempuan, masih menikmati masa studinya dibangku kuliah. 
Ini tentang satu anak perempuan didalam sebuah keluarga, berisi orang tua dan dua saudara laki-lakinya.


Ya, hari-hari anak perempuan itu seperti ini. Dia habiskan dengan menulis. Banyak cerita yang belum dituangkannya, tapi telah dia rangkai di microsoft word tempat mengadunya. 

Ya, begini hari-harinya, menghabiskan banyak waktu dirumah bersama keluarga. 

Dan dia menikmatinya.

Orangtuanya (alhamdulillah) masih lengkap. Ayah-Ibunya (alhamdulillah) masih sangat sehat. Walau memang kini mereka tak lagi muda. Rambut mereka tak lagi hitam, sudah mulai memutih ditumbuhi uban. Badan mereka juga tak lagi kokoh, mulai membungkuk. Mereka telah menua. Hampir menginjak setengah abad. 

Anak perempuan ini lebih banyak terbuka kepada Ibunya, tentang hal apapun itu. Pergaulan, masalah studi, pertengkaran, bahkan untuk sekedar dosen yang ngambek dan keluar kelas tak mengajarpun semua akan dia ceritakan. 
Ibunya friendly, bersahabat, menempatkan diri bukan hanya sekedar sebagai "Mama", tapi juga sebagai sahabat. Sahabat yang ini beda, ia sahabat yang ada disaat susah maupun senang, bisa menyimpan rahasia sedalam-dalamnya, tak akan menceritakan ulang apa yang telah ia dengarkan. 
Ibunya tak pernah marah. Ia hanya akan menegur dengan pelan ketika salah, menasehati dengan dalam, dari-hati-ke-hati. 
Ibunya sempurna, meski tak pernah menyiapkan sarapan dipagi hari atau sekedar menyiapkan roti tawar selai kacang dimeja makan. Ia selalu setia 24 jam untuk keluarganya, suami dan anak-anaknya.
Ibunya mengajarkan betapa berharganya menjadi mandiri tanpa bergantung dengan orang lain. Mampu menghasilkan uang sendiri tanpa harus meminta menadahkan tangan mengharap gaji bulanan pada suami (karna Ibunya memang seorang wirausaha). 
Ibunya selalu berada pada lini paling depan, yang paling cemas ketika anaknya sakit, yang selalu paling utama bangun dipagi hari membangunkan anak-anaknya sekolah, yang akan bergelut didapur seharian demi perut keluarga kecilnya tidak kelaparan.
Ibunya punya banyak cerita diwaktu muda, sering ia ceritakan ulang kepada anak perempuannya ini, se-detail mungkin. 
Ibunya senang bercerita, katanya, dengan bercerita hubungan orangtua dan anak bisa saling terbuka, dalam hal apapun. 
Ibunya banyak mengajarkan kebaikan. Betapa sakitnya memperjuangkan, melahirkan anak-anaknya, mempertaruhkan nyawa demi buah hatinya, menyusui, menjaga, membesarkan.
Ya, Seluruh Ibu di dunia ini memang sempurna. 

Ayahnya, panutannya. Ayahnya banyak mengajarkan betapa kejamnya dunia. Betapa susahnya mencari sesuap nasi untuk makan. Mencari uang demi untuk membuat dapur tetap 'mengebul'.
Ayahnya juga friendly, berbaur, menempatkan posisi bukan hanya sekedar sebagai "Bapak", tapi juga sebagai kawan. Tak ada skat antara anak dan Ayah. Ayahnya bisa sangat bertingkah konyol layaknya Mr. Bean. Bertingkah bodoh membuat gelak tawa pecah. Tapi bisa juga menjadi sangat tegas ketika anaknya salah. Yang bisa anak perempuannya ini dapati dari sosok Ayahnya adalah laki-laki bertanggung jawab yang tak ringan tangan. Tak pernah pukulan bahkan tamparan mendarat ditubuh anak-anaknya. Tak pernah sedikitpun. Sedikitpun.
Ayahnya mengajarkan kelembutan, rasa peduli dalam lingkup tetangga, menghargai perbedaan, dan lain hal. 
Ayahnya membiasakan anak-anaknya untuk menikmati hasil jerih payahnya sendiri, susahnya menabung untuk hal yang diinginkan, sabarnya menunggu untuk mendapatkan sesuatu, dan lain hal. 
Ayahnya selalu menjadi sosok paling depan, dari lini paling depan seorang Ibu. Ayahnya bertugas men-sejahtera-kan keluarganya, mengusahakan keluarga kecilnya tetap bisa makan.
Ayahnya pahlawannya. Pahlawan konyol yang anak perempuannya ini memberinya julukan "orang paling aneh se-dunia". 

Ya, sekonyol itu. 

Tapi, Ayah tetaplah Ayah. Sekonyol apapun tingkahnya, wibawanya tetap kutakuti. Kepala keluarga, pemimpin keluarga, pelindung keluarga. Pahlawan keluarga. Pahlawan anak perempuannya.

Ayah-Ibunya membebaskan anak perempuannya ini untuk bergaul dengan siapapun dan dimanapun.
Mereka hanya berpesan, "jaga dirimu baik-baik", itu, hanya itu.

Bahagia memiliki keluarga kecil. Beranggotakan lima anggota keluarga. Tak banyak. Tak juga sedikit. Sangat cukup untuk peneman hidup. Hidup bersama dengan akur.

Ya, anak perempuan ini. Anak perempuan satu-satunya. Anak ke dua dari tiga bersaudara. Diapit oleh kakak dan adik laki-laki. 

Anak perempuan ini sangat bahagia. Dihadiahi kakak dan adik laki-laki. Laki-laki yang menjaga anak perempuan satu-satunya ini. Dua saudara laki-laki yang tangguh. 
Anak perempuan ini bangga. Mempunyai dua saudara laki-laki, kakak sebagai pelindung dan adik sebagai pelengkap. 
Kakaknya adalah pelindung. Melindungi, menjaga, memperhatikan, sosoknya memang pendiam tak banyak bicara tapi anak perempuan ini mengerti wataknya, kakak laki-lakinya selalu menjaganya. 
Adiknya adalah pelengkap.  Anak terakhir pemberian Ilahi. Anak bontot si manja. Ya, walau dia laki-laki tapi sikap manjanya tak dapat dipungkiri. 

Lengkapnya kebahagiaan anak perempuan ini mempunyai keluarga sempurna. Sangat sempurna. Bahagia. Sangat bahagia.

Kebahagiaan anak perempuan ini juga bertambah lengkap dengan datangnya seorang teman hidup. Teman pendengar kisah sedih maupun bahagia. Teman yang selalu ada, memberikan pundaknya untukku bersandar. Banyak hal yang telah dilewati berdua. Banyak pula keinginan yang ingin diwujudkan bersama. Ya, dia peneman hidup. Hingga kini masih menjadi teman hidup. Suatu hari nanti dia akan menjadi bagian dari keluarga kecil ini. 

Ya. Pasti.

Selasa, 02 September 2014

Kamu. Laki-Laki Pendiam

Bahwa sesungguhnya aku mencintai diammu. Tenang.
Kamu diam, entah marah, bahagia, sedih, susah, atau memang sekedar ingin diam. Aku melihat diammu. Tenang.
Walau hati bertanya-tanya sendiri, "Kamu marah? Semoga tidak".
Aku suka tersenyum sendiri setiap melihatmu diam. Ada sosok lain disana. Dimatamu.
Sosok laki-laki yang lebih sering diam. Padahal sebenarnya sangat memperhatikan. 
Kamu cuma ingin terlihat tenang dengan diam. Padahal sebenarnya kamu gelisah.

Ya, aku paham. Kamu. Laki-laki pendiam. Lebih banyak diam. Tak banyak bicara. Kamu tunjukkan dengan tindakan. Mencintaiku dalam diam.

Aku paham kamu. Apa yang tak kamu suka. Walau kamu diam. Matamu bicara. Matamu menunjukkan bahwa ada yang salah disana. Kuperbaiki.

Kucintai sosokmu. Tetaplah diam disana. Perhatikan aku dalam-dalam. Dengan begitu aku tak akan mencintai sosok lain. 


Diamlah saja disitu. Aku tetap mencintaimu.

Kamis, 28 Agustus 2014

Disudut Cafe Tepat Disamping Jendela

Sore itu, di cafe ini, kita duduk berdua menikmati masing-masing minuman kesukaan kita, aku memesan secangkir hot chocolate, kamu memesan secangkir green tea. Kita duduk di sudut cafe tepat disamping jendela. Kita bercerita banyak tentang hidup. Apa yang akan kita lakukan setelah pernikahan nanti. 

Sesekali teringat olehku, perjuangan kita membina hubungan itu, lelah. Restu orang tua hingga perbedaan agama menjadikan kita tak mudah untuk menjalani semuanya. Tapi kita tetap berusaha. 

Sesekali aku tersenyum ketika teringat dikala kita diam-diam bertemu di taman kota tepat jam 12 malam. Aku pergi dari rumah diam-diam, demi untuk menemuimu.

Lagi-lagi aku tersenyum ketika kita ketahuan oleh Papa saat sedang asik berbicara ditelepon, Papa marah besar, Papa mengambil handphoneku lalu mematikan begitu saja telpon darimu. Aku marah. Marah semarah-marahnya. 
Kapan kalian mengerti? Dasar kolot. Teriakku dalam hati.

Teringat kembali, susah payahnya aku menemuimu di kost-anmu ketika kamu menghubungiku dan mengabariku bahwa kamu sakit. Aku bilang kepada Papa ada kerja kelompok di rumah teman. Papa mengijinkan. Tapi aku justru pergi menemuimu. Kuredakan sakit panasmu dengan mengompresmu. Menemanimu hingga malam.

Jam 9 malam, aku pulang. Kulihat dari jauh Papa sudah berdiri didepan pagar rumah. 
Pasti kena omel lagi. Gerutuku dalam hati.
Ya. Benar saja. Tepat didepan pintu masuk, Papa memarahiku habis-habisan.

Timbul senyumku lagi, ketika teringat dihari minggu pagi itu, kamu menemaniku ke Gereja. Kamu menungguku dengan sabar didepan Gerejaku. Entah apa yang kamu lakukan saat jenuhmu datang, yang jelas aku berdoa kepada Tuhanku agar kamu tetap sabar menungguku diluar. 
Dihari minggu siang itu, setelah kamu menemaniku ke Gereja. Aku menemanimu ke Masjidmu, menunggumu diluar Masjidmu. Menunggu dengan sabar. Ya setiap minggu kita memang melakukan hal itu. Mendekatkan diri kepada Tuhan kita, bersama-sama, walau ditempat yang berbeda. Kamu di Masjid. Aku di Gereja.

Ya, di cafe ini. Kita pernah berangan-angan membina rumah tangga. Mempunyai banyak anak. Tetap bersama dalam susah maupun senang.

Ya, di cafe ini. Kita pernah menceritakan kembali bagaimana susahnya memperjuangkan hubungan kita. Dari tawa hingga tangis. Dari canda hingga derita. Sakitnya tak direstui orang tua, sampai berpikir salah satu diantara kita harus ada yang berpindah agama. 

Ya, di cafe ini. Akhirnya kita berdua menyadari. Kekuatan cinta kita tak mungkin bisa merubah kerasnya hati orang tua. Kokohnya tiang agama yang kita punya. Kita tak bisa meninggalkan salah satunya hanya untuk cinta kita. Itu egois namanya.

Ya, di cafe ini. Terakhir kalinya kita berjumpa. Saling bertatap mata. Berpegang erat. Berbicara tanpa jeda. 

Ya, di cafe ini juga. Kamu mengucapkan selamat tinggal. Berterima kasih karna sudah pernah sama-sama berjuang. 
Lalu kamu pergi.

Di cafe ini. Di sudut cafe tepat disamping jendela. Saat ini. Aku mengenangmu. Mengenang cerita kita. Lalu kuceritakan kembali pada dia. Dia yang kini menggantikanmu. Dia pilihan orang tuaku. 

Rabu, 27 Agustus 2014

Tapi Itu Dulu

Dulu aku pernah menangis semalaman karna kehilangan.
Dulu aku pernah malas makan hingga aku lemas dalam kesakitan.
Dulu aku pernah mempertahankan sampai aku susah melepaskan.
Dulu aku pernah berjuang kelelahan tanpa dipedulikan.
Dulu aku pernah mencintai mati-matian, habis-habisan.
Dulu aku pernah menyayangi sedemikian sayang.
Dulu aku pernah bersamamu untuk semua itu.

Tapi itu dulu.

Hai Mendung...

Hai mendung, aku merindukannya.
Bawa rinduku ini sampaikan padanya, katakan padanya bahwa dadaku sesak setiap menyebut namanya.
Hai mendung, aku merindukannya.
Bawa rinduku ini sampaikan padanya, katakan padanya bahwa aliran darahku terasa berhenti setiap aku berusaha tak mengingatnya.

Mendung...
Aku menginginkan dia disini, walau sebentar, aku butuh pundaknya untuk bersandar.

Mendung...
Aku menginginkan dia hadir disini, membawa hati, aku rindu pekikan tawanya, semua tentang dirinya.

Tapi mendung...
Aku tahu itu semua takkan mungkin terjadi.
Dia telah pergi, aku hanya bisa mengenangnya disini, di batu nisan ini. Duduk sendiri. Menangis sendiri. Berdoa sendiri. 

Tak ada seorangpun disini, aku hanya ditemani mendung.

Selasa, 26 Agustus 2014

Cinta Tak Semudah Itu

Siang ini, siang yang terang ini, aku mendengarkan sebuah lagu, sederhana memang, tapi ada sesuatu yang terselip disana, ya, canda tawamu. Awalnya entah apa yang membuatmu mengotak-atik hapeku, membuka folder musik, lalu mencari-cari lagu yang kamu cari, ya, don't you remember dari Adele yang kamu play saat itu. 

"Nah ini nih lagunya, aktifin bluetooth kamu yah, kirim ke aku, aku sudah aktifin bluetooth aku nih.", katanya.

Akupun mengangguk tanda mengiyakan permintaannya. Entah apa yang dia suka dari lirik itu, yang jelas dia suka dengan lagu itu. 

"Sudah terkirim tuh, mau kirim lagu apa lagi?", tanyaku.
"Sudah ini aja, aku suka.", jawabnya singkat.

"Gimana kabar pacar kamu? Baik aja, kan? Hubunganmu juga baik aja, kan?", tanyanya tanpa jeda.

Belum sempat aku menjawab, dia bergegas mengambil earphone dari laci lemari dikamarnya, lalu merebahkan kepalanya dipahaku, sambil memejamkan mata.

"Lagunya bagus ya, suaranya Adele juga bagus, jadi ngantuk.", katanya.

Kudiamkan saja perkataannya tanpa menjawab sepatah katapun. Aku hanya terpaku menatap wajahnya yang saat itu sedang menikmati lagu itu, yang ku lakukan saat itu hanya mengusap-usap rambutnya. 

Tiba-tiba dia beranjak bangun dari baringnya.

"Kamu mau minum apa, Sandra?"
"Aku minum air biasa aja deh."

Lalu dia bergegas kedapur untuk mengambilkanku air minum.

"Nih..."
"Thank you."

Disela-sela aku meminum air putih yang disuguhkannya, dia menatapku, tapi aku pura-pura tidak tahu.

Dan...

"Aku masih sayang kamu."

Ya! Dia mengucapkan kata-kata itu! 
Aku sontak kaget, seolah tak mempercayai kata-katanya.

"Kamu ih, becanda muluk."
"Aku serius, aku masih sayang kamu."

Aku meletakkan gelas yang masih ada dalam genggamanku diatas meja tepat dihadapan kami berdua. 

"Kamu bilang apa barusan?"
"Aku masih sayang kamu."

Ucapan "aku masih sayang kamu" yang ketiga kalinya ini benar-benar membuat jantungku berdegup kencang. Kencang sekali.

"Kenapa kamu bisa bilang seperti itu lagi? Disaat keadaanku telah bersama yang lain?", tanyaku.
"Aku juga tak mengerti mulai kapan rasa ini mulai tumbuh kembali, aku merasakan cinta itu hadir kembali."

Aku yang mendengarkan penjelasannya itu serasa tak percaya. Semudah itukah? Semudah itukah rasa yang dulu telah hilang kini hadir kembali?

Kutatap matanya tajam, kuarahkan tanganku ke tangannya, kugenggam erat-erat.

"Kamu ter...lambat.", kataku terbata-bata.
"Apa? Apanya yang terlambat? Kamu tinggalkan kekasihmu lalu kembali bersamaku. Mudah. Kamu sangat bisa melakukannya untukku.", rengeknya.

Aku diam. Hanya bisa diam. Aku memikirkan kekasihku. Kekasih yang mencintaiku. 

"Aku memang sangat mudah melakukannya untukmu. Meninggalkan kekasihku lalu kembali lagi bersamamu. Tapi apakah dengan begitu aku memikirkan hati kekasihku? Tidak. Jika aku melakukan itu. Aku egois. Aku memikirkan kamu, mantan kekasihku tanpa memikirkan dia, kekasihku."

Aku meneteskan air mata, namun sebisa mungkin kuhapus tanpa memperlihatkan tetesan air mata itu jatuh dihadapannya.

"Lalu? Aku tidak bisa kembali bersamamu? Kamu tidak bisa bersamaku lagi? Kita tidak bisa seperti dulu lagi?", tanyanya penuh harap.

Lagi-lagi aku diam. Terdiam. Kucoba menarik nafas panjang, kuhembuskan pelan-pelan. Perlahan aku jelaskan.

"Hari, kita sudah lama berpisah, lalu kini kita dipertemukan oleh waktu dan keadaan yang telah berbeda, kamu dengan duniamu, dan aku dengan duniaku. Setelah kita berpisah, kamu telah menjalani beberapa kisah dengan wanita-wanita itu, entah kamu ingin mencari apa dari mereka, berusaha mencari penggantiku atau sekedar rasa ingin bermainmu. Dan aku, lihat aku, baru bersama satu lelaki setelah berpisah denganmu, bukan dengan beberapa lelaki, hanya satu, itu karna aku telah benar-benar mencari seseorang pengganti dirimu, yang lebih baik darimu, bagaimana mungkin aku bisa kembali padamu? Bagaimana? Tolong jelaskan."

Hari hanya terdiam, tertunduk, menghela nafasnya. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat itu. Semua ini terlihat rumit.
Tak lama, Hari menyentuh tanganku.

"San, maafkan aku. Aku egois. Tidak seharusnya aku bilang begitu sama kamu. Jujur, aku memang masih sayang sama kamu apalagi waktu pertama kita tak sengaja bertemu waktu itu, kamu bersama kekasihmu, entah kenapa rasa itu tiba-tiba muncul lagi, San."

"Har, kita memang pernah merajut cinta bersama tapi itu dulu. Dan sekarang aku telah memiliki dia yang telah tulus mencintai aku, menerima kekuranganku, kamu pasti mengerti maksudku, kan?".

"Iya, San. Aku mengerti. Cinta tak bisa dipaksakan."


Begitu mudahnya seseorang meminta kembali tanpa melihat apa yang telah terjadi. Cinta tak semudah itu.
Apa kabar blog?