Kamis, 28 Agustus 2014

Disudut Cafe Tepat Disamping Jendela

Sore itu, di cafe ini, kita duduk berdua menikmati masing-masing minuman kesukaan kita, aku memesan secangkir hot chocolate, kamu memesan secangkir green tea. Kita duduk di sudut cafe tepat disamping jendela. Kita bercerita banyak tentang hidup. Apa yang akan kita lakukan setelah pernikahan nanti. 

Sesekali teringat olehku, perjuangan kita membina hubungan itu, lelah. Restu orang tua hingga perbedaan agama menjadikan kita tak mudah untuk menjalani semuanya. Tapi kita tetap berusaha. 

Sesekali aku tersenyum ketika teringat dikala kita diam-diam bertemu di taman kota tepat jam 12 malam. Aku pergi dari rumah diam-diam, demi untuk menemuimu.

Lagi-lagi aku tersenyum ketika kita ketahuan oleh Papa saat sedang asik berbicara ditelepon, Papa marah besar, Papa mengambil handphoneku lalu mematikan begitu saja telpon darimu. Aku marah. Marah semarah-marahnya. 
Kapan kalian mengerti? Dasar kolot. Teriakku dalam hati.

Teringat kembali, susah payahnya aku menemuimu di kost-anmu ketika kamu menghubungiku dan mengabariku bahwa kamu sakit. Aku bilang kepada Papa ada kerja kelompok di rumah teman. Papa mengijinkan. Tapi aku justru pergi menemuimu. Kuredakan sakit panasmu dengan mengompresmu. Menemanimu hingga malam.

Jam 9 malam, aku pulang. Kulihat dari jauh Papa sudah berdiri didepan pagar rumah. 
Pasti kena omel lagi. Gerutuku dalam hati.
Ya. Benar saja. Tepat didepan pintu masuk, Papa memarahiku habis-habisan.

Timbul senyumku lagi, ketika teringat dihari minggu pagi itu, kamu menemaniku ke Gereja. Kamu menungguku dengan sabar didepan Gerejaku. Entah apa yang kamu lakukan saat jenuhmu datang, yang jelas aku berdoa kepada Tuhanku agar kamu tetap sabar menungguku diluar. 
Dihari minggu siang itu, setelah kamu menemaniku ke Gereja. Aku menemanimu ke Masjidmu, menunggumu diluar Masjidmu. Menunggu dengan sabar. Ya setiap minggu kita memang melakukan hal itu. Mendekatkan diri kepada Tuhan kita, bersama-sama, walau ditempat yang berbeda. Kamu di Masjid. Aku di Gereja.

Ya, di cafe ini. Kita pernah berangan-angan membina rumah tangga. Mempunyai banyak anak. Tetap bersama dalam susah maupun senang.

Ya, di cafe ini. Kita pernah menceritakan kembali bagaimana susahnya memperjuangkan hubungan kita. Dari tawa hingga tangis. Dari canda hingga derita. Sakitnya tak direstui orang tua, sampai berpikir salah satu diantara kita harus ada yang berpindah agama. 

Ya, di cafe ini. Akhirnya kita berdua menyadari. Kekuatan cinta kita tak mungkin bisa merubah kerasnya hati orang tua. Kokohnya tiang agama yang kita punya. Kita tak bisa meninggalkan salah satunya hanya untuk cinta kita. Itu egois namanya.

Ya, di cafe ini. Terakhir kalinya kita berjumpa. Saling bertatap mata. Berpegang erat. Berbicara tanpa jeda. 

Ya, di cafe ini juga. Kamu mengucapkan selamat tinggal. Berterima kasih karna sudah pernah sama-sama berjuang. 
Lalu kamu pergi.

Di cafe ini. Di sudut cafe tepat disamping jendela. Saat ini. Aku mengenangmu. Mengenang cerita kita. Lalu kuceritakan kembali pada dia. Dia yang kini menggantikanmu. Dia pilihan orang tuaku. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar