Perempuan ini banyak belajar dari sekitarnya.
Perempuan ini mendapati seorang perempuan lain yang bertahan mati-matian bersama seorang lelakinya.
Tapi disitu, dihubungan itu, perempuan itu lebih banyak diam, memendam pedih sendirian, menangis semalaman meratapi kejadian. Perempuan itu lebih banyak mengalah, mengesampingkan egonya demi mengutamakan lelakinya, perempuan itu bertahan disisi lelakinya, menyiapkan diri walau harus tersakiti.
Lelakinya tampan, tapi emosinya tak tertahankan. Mereka sering bertengkar tak karuan, masalah kecil yang dibesar-besarkan, juga sering timbulnya kesalahpahaman karna pemikiran yang tak sejalan.
Mereka bersama bertahun-tahun, menjalani semuanya berdua. Tapi setelah perempuan ini perhatikan, ada yang salah dihubungan mereka. Ya, pemikiran mereka belum sejalan. Mereka saling menyayangi, pasti. Mereka saling mencintai, pasti. Mereka saling menjaga, juga pasti. Tapi kenapa perempuan itu masih sering menangis? Lelakinya mengumbar janji manis, berkata bahwa cintanya akan terus harmonis. Nyatanya? Perempuan itu masih menangis.
Yang perempuan ini bisa lihat dari mereka adalah dua manusia yang saling cinta, tapi ada penengah ego yang menghancurkan mereka. Ego lelakinya. Lelakinya merasa berkuasa atas diri perempuan itu. Merasa bahwa tubuh perempuan itu hanya miliknya. Lelakinya lupa bahwa sebenarnya mereka belum terikat sumpah setia. Pernikahan. Lelakinya lupa, bahwa sesungguhnya mencintai itu menghargai bukan mengekang. Bukan mengkotakkan perempuan itu dalam sejuta aturan. Lelakinya lupa bahwa mencintai itu menuntun. Membuat perempuan itu merasa ada pemimpin dihadapannya bukan malah menjadi raja yang harus disembah dan ditakuti kehadirannya. Lelakinya lupa bahwa perempuan itu tulus mencintainya.
Lelakinya mati rasa. Lelakinya dibutakan cinta hingga tak tahu warna dalam rasa, membedakan sayang dan mengekangpun tak bisa.
Sayang itu membiarkan perempuan itu bebas. Bebas sesukanya, karna dimanapun dan bersama siapapun perempuan itu akan tetap menjaga dirinya tetap anggun.
Sayang itu percaya, karena dimanapun dan bersama siapapun perempuan itu akan sadar bahwa kondisinya telah dimiliki oleh lelakinya.
Sayang itu menjaga, bukan dengan selalu berada disampingnya, tapi dengan setia menanam rasa. Rasa yang telah dibangun bersama.
Sayang itu bukan membatasi ruang. Itu namanya mengekang.
Merasa sayang bukan berarti dapat memperlakukan pasangan sesuka kemauan.
Lelakinya selalu merasa seperti penguasa, mengangkangkan kaki, melipat tangan didada, memerintah seenaknya.
Itu bukan pasangan sejati namanya.
Perempuan itu terus bertahan. Perempuan itu sadar, ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Bukti cintanya pada lelakinya. Bodoh memang, tapi cinta telah berbicara.
Perempuan itu bertahan dengan semua tingkah lelakinya. Berharap akan datang keajaiban bahwa lelakinya akan berubah.
Perempuan itu memperjuangkan cintanya, tak menghiraukan luka dihatinya, seolah semuanya baik-baik saja padahal sebenarnya tersenyumpun adalah luka.
Yang perempuan ini tahu, dalam sebuah hubungan menjaga privasi masing-masing itu kewajiban. Saling menghargai apa yang dimiliki itu suatu keharusan. Cinta bukan melulu soal sayang tapi bagaimana keduanya bisa saling memperjuangkan. Cinta juga bukan selalu tentang kebersamaan tapi bagaimana keduanya bisa saling menjaga kepercayaan.
Jauh dari pandangan, menciptakan kedewasaan. Mengerti bahwa jauhnya jarak menjadikan kerinduan adalah teman, mengkokohkan kesetiaan.
Yang perempuan ini tahu, perempuan diciptakan dari tulang rusuk lelaki, takkan lengkap tubuh lelaki tanpa perempuan menemani disudut sisi. Perempuan pelengkap diri lelaki.
Yang perempuan ini tahu, cinta itu mengayomi, melindungi, bukan menindas perasaan. Membuat perempuan selalu menangis, itu salah.
Bulir-bulir air matanya adalah dosamu, lelaki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar