Rabu, 03 September 2014

Anak Perempuan Ini

Ini tentang seorang anak perempuan, tidak lagi remaja, tapi belum juga bisa dibilang dewasa. 
Ini tentang seorang anak perempuan, belum menikah, tapi telah memiliki teman hidup. 
Ini tentang seorang anak perempuan, masih menikmati masa studinya dibangku kuliah. 
Ini tentang satu anak perempuan didalam sebuah keluarga, berisi orang tua dan dua saudara laki-lakinya.


Ya, hari-hari anak perempuan itu seperti ini. Dia habiskan dengan menulis. Banyak cerita yang belum dituangkannya, tapi telah dia rangkai di microsoft word tempat mengadunya. 

Ya, begini hari-harinya, menghabiskan banyak waktu dirumah bersama keluarga. 

Dan dia menikmatinya.

Orangtuanya (alhamdulillah) masih lengkap. Ayah-Ibunya (alhamdulillah) masih sangat sehat. Walau memang kini mereka tak lagi muda. Rambut mereka tak lagi hitam, sudah mulai memutih ditumbuhi uban. Badan mereka juga tak lagi kokoh, mulai membungkuk. Mereka telah menua. Hampir menginjak setengah abad. 

Anak perempuan ini lebih banyak terbuka kepada Ibunya, tentang hal apapun itu. Pergaulan, masalah studi, pertengkaran, bahkan untuk sekedar dosen yang ngambek dan keluar kelas tak mengajarpun semua akan dia ceritakan. 
Ibunya friendly, bersahabat, menempatkan diri bukan hanya sekedar sebagai "Mama", tapi juga sebagai sahabat. Sahabat yang ini beda, ia sahabat yang ada disaat susah maupun senang, bisa menyimpan rahasia sedalam-dalamnya, tak akan menceritakan ulang apa yang telah ia dengarkan. 
Ibunya tak pernah marah. Ia hanya akan menegur dengan pelan ketika salah, menasehati dengan dalam, dari-hati-ke-hati. 
Ibunya sempurna, meski tak pernah menyiapkan sarapan dipagi hari atau sekedar menyiapkan roti tawar selai kacang dimeja makan. Ia selalu setia 24 jam untuk keluarganya, suami dan anak-anaknya.
Ibunya mengajarkan betapa berharganya menjadi mandiri tanpa bergantung dengan orang lain. Mampu menghasilkan uang sendiri tanpa harus meminta menadahkan tangan mengharap gaji bulanan pada suami (karna Ibunya memang seorang wirausaha). 
Ibunya selalu berada pada lini paling depan, yang paling cemas ketika anaknya sakit, yang selalu paling utama bangun dipagi hari membangunkan anak-anaknya sekolah, yang akan bergelut didapur seharian demi perut keluarga kecilnya tidak kelaparan.
Ibunya punya banyak cerita diwaktu muda, sering ia ceritakan ulang kepada anak perempuannya ini, se-detail mungkin. 
Ibunya senang bercerita, katanya, dengan bercerita hubungan orangtua dan anak bisa saling terbuka, dalam hal apapun. 
Ibunya banyak mengajarkan kebaikan. Betapa sakitnya memperjuangkan, melahirkan anak-anaknya, mempertaruhkan nyawa demi buah hatinya, menyusui, menjaga, membesarkan.
Ya, Seluruh Ibu di dunia ini memang sempurna. 

Ayahnya, panutannya. Ayahnya banyak mengajarkan betapa kejamnya dunia. Betapa susahnya mencari sesuap nasi untuk makan. Mencari uang demi untuk membuat dapur tetap 'mengebul'.
Ayahnya juga friendly, berbaur, menempatkan posisi bukan hanya sekedar sebagai "Bapak", tapi juga sebagai kawan. Tak ada skat antara anak dan Ayah. Ayahnya bisa sangat bertingkah konyol layaknya Mr. Bean. Bertingkah bodoh membuat gelak tawa pecah. Tapi bisa juga menjadi sangat tegas ketika anaknya salah. Yang bisa anak perempuannya ini dapati dari sosok Ayahnya adalah laki-laki bertanggung jawab yang tak ringan tangan. Tak pernah pukulan bahkan tamparan mendarat ditubuh anak-anaknya. Tak pernah sedikitpun. Sedikitpun.
Ayahnya mengajarkan kelembutan, rasa peduli dalam lingkup tetangga, menghargai perbedaan, dan lain hal. 
Ayahnya membiasakan anak-anaknya untuk menikmati hasil jerih payahnya sendiri, susahnya menabung untuk hal yang diinginkan, sabarnya menunggu untuk mendapatkan sesuatu, dan lain hal. 
Ayahnya selalu menjadi sosok paling depan, dari lini paling depan seorang Ibu. Ayahnya bertugas men-sejahtera-kan keluarganya, mengusahakan keluarga kecilnya tetap bisa makan.
Ayahnya pahlawannya. Pahlawan konyol yang anak perempuannya ini memberinya julukan "orang paling aneh se-dunia". 

Ya, sekonyol itu. 

Tapi, Ayah tetaplah Ayah. Sekonyol apapun tingkahnya, wibawanya tetap kutakuti. Kepala keluarga, pemimpin keluarga, pelindung keluarga. Pahlawan keluarga. Pahlawan anak perempuannya.

Ayah-Ibunya membebaskan anak perempuannya ini untuk bergaul dengan siapapun dan dimanapun.
Mereka hanya berpesan, "jaga dirimu baik-baik", itu, hanya itu.

Bahagia memiliki keluarga kecil. Beranggotakan lima anggota keluarga. Tak banyak. Tak juga sedikit. Sangat cukup untuk peneman hidup. Hidup bersama dengan akur.

Ya, anak perempuan ini. Anak perempuan satu-satunya. Anak ke dua dari tiga bersaudara. Diapit oleh kakak dan adik laki-laki. 

Anak perempuan ini sangat bahagia. Dihadiahi kakak dan adik laki-laki. Laki-laki yang menjaga anak perempuan satu-satunya ini. Dua saudara laki-laki yang tangguh. 
Anak perempuan ini bangga. Mempunyai dua saudara laki-laki, kakak sebagai pelindung dan adik sebagai pelengkap. 
Kakaknya adalah pelindung. Melindungi, menjaga, memperhatikan, sosoknya memang pendiam tak banyak bicara tapi anak perempuan ini mengerti wataknya, kakak laki-lakinya selalu menjaganya. 
Adiknya adalah pelengkap.  Anak terakhir pemberian Ilahi. Anak bontot si manja. Ya, walau dia laki-laki tapi sikap manjanya tak dapat dipungkiri. 

Lengkapnya kebahagiaan anak perempuan ini mempunyai keluarga sempurna. Sangat sempurna. Bahagia. Sangat bahagia.

Kebahagiaan anak perempuan ini juga bertambah lengkap dengan datangnya seorang teman hidup. Teman pendengar kisah sedih maupun bahagia. Teman yang selalu ada, memberikan pundaknya untukku bersandar. Banyak hal yang telah dilewati berdua. Banyak pula keinginan yang ingin diwujudkan bersama. Ya, dia peneman hidup. Hingga kini masih menjadi teman hidup. Suatu hari nanti dia akan menjadi bagian dari keluarga kecil ini. 

Ya. Pasti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar